Beranda | Artikel
Kaidah Ke. 26 : Jika Terjadi Perselisihan
Rabu, 24 April 2013

QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Kedua Puluh Enam

يُقْبَلُ قَوْلُ اْلأُمَنَاءِ فِي الَّذِي تَحْتَ أَيْدِيْهِمْ مِنَ التَّصَرُّفَاتِ وَاْلإِتْلاَفِ وَغَيْرِهَا إِلاَّ مَا خَالَفَ الْحِسَّ وَالْعَادَةَ

Perkataan Orang Yang Diserahi Amanah Berkaitan Dengan Pengelolaan, Kerusakan Dan Masalah Lain Yang Berhubungan Dengan Harta Yang Diamanahkan Kepadanya Diterima, Kecuali Apabila Menyelisihi Realita Dan Kebiasaan[1]

Kaidah ini sangat penting untuk menyelesaikan perselisihan antara pemilik harta dan orang yang diserahi amanah[2] untuk mengelola harta tersebut. Dalam akad mudharabah atau yang semisalnya, pemilik harta (pemodal) mempercayakan hartanya kepada orang lain untuk kelola, baik dalam perdagangan, sewa atau lain sebagainya. Dalam hal ini, apabila terjadi perselisihan antara pemilik harta dengan orang yang diserahi amanah berkaitan dengan harta tersebut, maka perkataan yang diterima adalah perkataan orang yang diserahi amanah. Karena pemilik harta telah mempercayakan harta kepadanya dan telah menposisikannya seperti dirinya.

Namun, apabila pernyataan orang yang diserahi amanah tersebut menyelisihi kebiasaan atau tidak selaras dengan realita yang ada, maka pernyataannya tidak diterima. Misalnya, apabila seseorang yang dititipi barang mengatakan bahwa barang tersebut telah hancur karena musibah kebakaran. Sedangkan secara realita tidak ada indikasi musibah kebakaran, maka perkataannya tidak diterima. Apabila ada tanda-tanda musibah kebakaran, kemudian terjadi perselisihan antara pemilik harta dengan orang yang dititipi harta, misalnya, si pemilik harta bersikeras bahwa barang yang dititipkan itu tidak ikut terbakar, sementara orang yang diserahi amanah menyatakan bahwa barang itu juga terbakar, maka perkataan yang diterima adalah perkataan orang yang diserahi amanah.[3]

Kasus-kasus lain yang bisa menjadi contoh implementasi kaidah ini adalah sebagai berikut :

1. Apabila seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk menjual sejumlah barang. Beberapa waktu berselang, barang itu rusak. Lalu ia berkata kepada yang diserahi amanah, “Engkau wajib mengganti karena engkau tidak menjaga harta itu!” Sementara orang yang diserahi amanah menyanggahhh, “Saya sudah sungguh-sungguh menjaganya. Karenanya, saya tidak wajib mengganti.” Maka dalam kasus seperti ini, perkataan yang diterima adalah perkataan orang yang diserahi amanah. Karena kedudukannya sebagai orang yang diserahi amanah, sehingga perkataannya berkaitan dengan kerusakan barang, diterima.

2. Apabila seseorang mewakilkan orang lain untuk menjual sejumlah pakaian. Beberapa waktu kemudian terjadi perselisihan. Si pemilik harta berkata, “Engkau belum menawarkan pakaian itu !” Dan orang yang diserahi amanah berkata, “Saya telah menawarkannya.” Maka, dalam kasus ini, perkataan yang diterima adalah perkataan orang yang diserahi amanah. Karena kedudukannya sebagai orang yang diserahi amanah, sehingga perkataannya berkaitan dengan pengelolaan harta, diterima.

3. Apabila seseorang meminjam suatu barang kepada orang lain. Setelah beberapa waktu, pemilik barang mendatangi orang yang meminjam untuk meminta supaya barangnya dikembalikan. Lalu si peminjam mengatakan bahwa barang tersebut telah rusak karena musibah. Maka dalam hal ini, perkataan si peminjam tersebut asalnya diterima karena kedudukannya sebagai orang yang diserahi amanah, dan sebelumnya memang ia telah mendapatkan izin dari pemilik harta untuk membawa ataupun memanfaatkan barang tersebut.

Adapun berkaitan dengan ganti rugi kerusakan, para ulama berbeda pendapat apakah si peminjam wajib mengganti barang tersebut ataukah tidak. Dan pendapat yang kuat adalah bahwa si peminjam tidak wajib mengganti atau membayar ganti rugi kecuali apabila ia tidak benar-benar menjaganya (tafrith) atau berlebihan dalam pemanfaatannya (ta’addi).[4]

4. Apabila ada akad sewa menyewa antara dua orang. Kemudian setelah masa sewa selesai, pemilik barang mendatangi si penyewa untuk meminta supaya barangnya dikembalikan. Lalu si penyewa berkata bahwa barang tersebut rusak karena suatu kecelakaan. Maka perkataan si penyewa diterima karena kedudukannya sebagai orang yang diserahi amanah.[5]

5. Dalam akad mudahrabah,[6] perkataan mudharib (pengelola barang mudharabah) berkaitan dengan keuntungan ataupun kerugian dari pengelolaan barang, diterima. Demikian pula perkataannya berkaitan dengan penjualan barang, baik secara tunai, kredit, syarat-syarat akad yang ia lakukan dan sebagainya. Karena hal itu berkaitan dengan pengelolaan barang yang diamanahkan kepadanya.[7]

Dalam uraian di atas telah dijelaskan bahwa pembahasan kaidah ini berkisar pada perselisihan antara pemilik harta dengan orang yang diserahi amanah berkaitan dengan pengelolaan dan kerusakan harta yang diamanahkan. Di sisi lain, terkadang timbul perselisihan berkaitan dengan pengembalian barang, apakah barang tersebut sudah dikembalikan atau belum. Yaitu, apabila orang yang diserahi amanah mengatakan bahwa harta yang diamanahkan sudah dikembalikan kepada pemilik harta, namun si pemilik menyangkalnya. Maka, dalam kasus seperti ini para ulama menjelaskan, apabila si penerima amanah tidak memiliki kepentingan sama sekali pada harta tersebut, maka perkataannya diterima. Namun apabila dia memiliki kepentingan, maka perkataannya ditolak.(apabila harta yang diamanahkan tersebut semata-mata untuk maslahat si pemilik harta maka asalnya perkataan orang yang diserahi amanah diterima. Namun, apabila orang yang diserahi amanah mengambil manfaat dari harta yang diamanahkan kepadanya, maka asalnya perkataannya tidaklah diterima).[8]

Implementasinya sebagai berikut :
1. Apabila Ahmad menitipkan sejumlah uang kepada Hasan. Selang beberapa waktu kemudian, Ahmad menemui Hasan untuk meminta uang yang dititipkannya itu. Kemudian Hasan berkata bahwa uang tersebut sudah dikembalikan kepada Ahmad. Maka dalam kasus seperti ini, perkataan yang diterima adalah perkataan Hasan dan ia tidak dituntut untuk mendatangkan bukti pengembalian. Karena Hasan membawa harta tersebut semata-mata untuk kepentingan Ahmad dan tidak berkepentingan dengannya. Dalam hal ini, ia juga telah berbuat ihsan ketika membantu Ahmad membawakan uangnya. Sementara Allah k berfirman berkaitan dengan orang yang berbuat ihsan :

مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِنْ سَبِيلٍ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, [at-Taubah/9:91]

2. Apabila seseorang menyelamatkan harta orang lain dari kehancuran karena ada bencana alam atau semisalnya. Setelah itu, pemilik harta menyatakan bahwa seluruh harta tersebut atau sebagiannya belum dikembalikan kepadanya. Sedangkan orang yang menyelamatkan mengatakan bahwa ia telah mengembalikan semua harta yang ia selamatkan kepada pemiliknya. Maka dalam kasus seperti ini, perkataan berpihak kepada si penyelamat harta. Karena ia membawa harta tersebut demi kemaslahatan pemilik harta. Dan ini masuk juga dalam keumuman firman Allâh Subhanahu wa Ta’aladalam surah at-Taubah di atas.[9]

3. Apabila Ahmad meminjam barang dari Hasan. Setelah beberapa lama, terjadi perselisihan. Ahmad mengaku telah mengembalikan barang tersebut, sementara Hasan menyangkal. Maka dalam kasus seperti ini, hukum berpihak kepada Hasan. Karena Ahmad membawa barang tersebut adalah untuk kepentingan dirinya serta untuk mengambil manfaat darinya. Maka pengakuan Ahmad tidak diterima kecuali jika ia bisa mendatangkan bukti pengembalian barang tersebut.

4. Apabila Ahmad menyewa sebuah mobil dari Hasan. Setelah masa sewa habis, Hasan menemui Ahmad untuk meminta mobilnya dikembalikan. Lalu Ahmad mengatakan bahwa mobil telah ia kembalikan ke Hasan. Maka dalam hal ini, perkataan Ahmad tidak diterima, karena ia membawa mobil untuk kemaslahatannya dan ia mengambil manfaat darinya. [10]
Wallohu A’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Diangkat dari kitab al-Qawâ’id wal Ushûlul Jâmi’ah wal Furûq wa at-Taqâsîmul Badî’atun Nâfi’ah, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di. Tahqiq Syaikh Dr. Khâlid bin Ali bin Muhammad al-Musyaiqih. Cet. II. 1422 H/2001 M. Dar al-Wathan li an-Nasyr. Riyadh, hlm. 78. Dengan beberapa tambahan dari referensi lainnya.
[2]. Orang yang diserahi amanah (al-amin) maksudnya orang yang mendapatkan kepercayaan untuk membawa harta orang lain dengan izin pemiliknya atau dengan izin syari’at. (Lihat Tuhfatu Ahlit Thalab fi Tahrir Ushul Qawa’id Ibni Rajab. Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di. Tahqiq Dr. Khâlid bin Ali bin Muhammad al-Musyaiqih. Cet. Ke-2. Tahun 1423 H. Dar Ibni al-Jauzi. Damam, hlm. 38-39.
[3]. Lihat ta’liq Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin rahimahullah terhadap kitab al-Qawâ’id wal Ushûlul Jâmi’ah wal Furûq wa at-Taqâsîmul Badî’atun Nâfi’ah. Cet I. Tahun 2002 M. Maktabah as-Sunnah. Kairo, hlm. 131.
[4]. Ini dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin dalam Manzhûmah Ushulil Fiqh wa Qawa’idihi. Cet. I. Tahun 1426 H. Dar Ibni al-Jauzi. Damam, hlm. 278.
[5]. Lihat Manzhûmah Ushulil Fiqh wa Qawa’idihi, hlm. 278.
[6]. Mudhârabah adalah akad persekutuan antara dua orang atau lebih, di mana harta berasal dari salah seorang diantara mereka, sedangkan yang lainnya berperan seabgai pengelola harta tersebut dengan keuntungan dibagi sesuai kesepakatan di antara mereka, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik harta. Lihat Mu’jam Lughah al-Fuqaha’. Prof. Dr. Muhammad Rawas Qal’ah Jiy dan Dr. Hamid Shadiq Qunaibi. Cet. II. Tahun 1408 H/1988 M. Dar an-Nafais. Beirut. Pada kata ( المضاربة ).
[7]. Lihat contoh-contoh lain penerapan kaidah ini dalam Manzhûmah Ushulil Fiqh wa Qawa’idihi, hlm. 277-278.
[8]. Lihat penjelasan Syaikh Abdurrahman bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah dalam kitab Tuhfatu Ahlit Thalab fi Tahrir Ushul Qawa’id Ibni Rajab, hlm. 38-39.
[9]. Lihat Manzhûmah Ushulil Fiqh wa Qawa’idihi, hlm. 276.
[10]. Lihat pula pembahasan kaidah ini dalam Taqrîrul Qawâ’id wa Tahrîrul Fawâ’id, al-Imam al-Hâfizh Zainuddîn Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab al-Hambali. Ta’liq Syaikh Abu Ubaidah Masyhûr bin Hasan Alu Salmân. Cet. I. 1419 H/1998 M. Dar Ibni Affân, hlm. 315-322. Dan Syarhul Qawâ’idis Sa’diyah, Syaikh Abdul Muhsin bin Abdullah az-Zamil. Dar Athlas al-Kahadhra’, hlm. 186.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3591-kaidah-ke-26-jika-terjadi-perselisihan.html